Ada kejadian-kejadian di muka bumi ini yang sering tak bisa kita duga sebelumnya. Misalnya saja, ada sebuah persahabatan yang bisa berubah menjadi permusuhan. Ah, benarkah? Inilah yang dialami antara bangsa ikan tongkol dan bangsa ayam.
Para nelayan di Kepulauan Natuna dan Anabas mempunyai kebiasaan tak lazim dalam menangkap ikan. Kebiasaan ini tak pernah dilakukan nelayan dari daerah lainnya. Yakni, jika mereka memancing ikan di laut, khususnya ikan tongkol, umpan yang akan digunakan adalah berupa bulu ayam jantan. Aneh, bukan?
Bulu itu biasanya dicabut dari bulu di bagian tengkuk seekora ayam jantan. Mengapa ikan tongkol mau memakan bulu ayam? inilah kisahnya.
Sejak dulu kala terjalinlah persahabatan yang erat antara ikan tongkol dan ayam. Suatu hari, seorang nelayan di pantai hendak menikahkan anaknya secara besar-besaran. Ia mengundang seluruh warga di Kepulauan itu untuk menghadiri pesta tersebut. Rakyat ayam mendengar rencana itu lalu memberitahukannya pada rakyat ikan tongkol di laut. Diberitahukan, akan ada pertunjukan menarik di darat jika rakyat ikan tongkol tertarik untuk menonton.
Rakyat ikan tongkol pun menyambut kabar itu dengan suka cita. Mereka sudah lama memang ingin menikmati suasana yang berbeda dari di laut. Namun sebelum itu, raja ikan tongkol mengajukan suatu permintaan khusus kepada raja ayam. Biasanya jika fajar merekah, maka air laut akan mengalami gelombang surut, daratan di sekitar pantai akan menjadi kering. Oleh karena itu, rakyat ikan tongkol harus sudah meninggalkan pantai sebelum fajar menyingsing.
"Beritahu kami jika fajar sudah akan datang, wahai ayam, sahabatku" pintanya.
"Tentu, ikan tongkol, sahabatku" jawabnya.
Raja ayam menyanggupi permintaan itu dengan mudah, ia tak ingin sahabat-sahabatnya mendapat celaka. Lagipula sudah menjadi kebiasaan sehari-hari rakyat ayam untuk berkokok jika pagi hendak menjelang. Itulah tugas yang dilakukan si Ayam Jantan setiap subuh. Yakni membangunkan seluruh warga kepulauan bahwa hari sudah akan dimulai.
Saat itu bulan purnama. Bulan bersinar terang di malam hari. Air laut perbani (mengalami gelombang pasang besar). Saat itulah rombongan rakyat ikan tongkol berbondong-bondong memasuki wilayah pantai. Lalu, mereka mengendap-endap ke daratan menuju tempat pesta, kemudian bersembunyi di kolong pelantar (balai-balai) di rumah sang nelayan. Di pesta itu ada zikir bardah (do'a atau puji-pujian berlagu) diiringi gendang rebana. Inilah jenis bunyi-bunyian merdu yang sangat disenangi semua ikan tongkol di laut. Baru kali ini mereka bisa mendengarnya dari jarak dekat. Makin larut malam, zikir bardah itu makin terasa mengasyikkan. Rombongan ikan tongkol itu begitu menikmati bait-bait pantun dalam syair yang indah itu sampai akhirnya tak sadar mereka semua terlena jatuh tertidur.
Namun ternyata tak hanya ikan tongkol yang terlena, rakyat ayam pun juga terlena. Baik ayam di kandang maupun ayam yang berada di tenggeran tertidur pulas semuanya. Padahal subuh sudah menjelang.
Oh, malapetaka, rakyat ayam jantan lupa berkokok!
Oh malang, air laut sudah surut!
Rakyat ikan tongkol terperanjat saat bangun dari tidur. Pagi sudah datang dan pantai menjadi kering. Mereka tak bisa pulang kembali ke laut. Mereka lalu berhambur ke alur (lekuk) karang yang tak berapa jauh dari pantai. Namun sebagian besar lainnya terjebak tak mampu ke mana-mana lagi. Sementara itu, matahari mulai bersinar di sela-sela dinding kandang, juga menyinari ayam yang berada di tenggeran. Raja ayam sangat terperanjat, Ia dan rakyatnya lupa untuk berkokok, menyelamatkan ikan tongkol sahabat-sahabat mereka. Aduh, Aduh!!
Saat itu seluruh penduduk di pantai juga terkejut melihat ada banyak sekali ikan tongkol sedang menggelepar-gelepar kekeringan di kolong pelatar. Mereka beramai-ramai menangkap ikan-ikan yang malang itu.
Saat itu, raja ikan tongkol menjerit dari ujung karang sambil mengacung-acungkan kepalan tinju ke arah ayam di darat. Ia sangat sangatlah marah pada rakyat ayam, terutama ayam jantan. Ia pun mengucapkan sumpah.
"Mulai hari ini, rakyat ikan tongkol akan memangsa semua rakyat ayam, terutama ayam jantan. Jika tak mendapatkan tubuhnya, bahkan buku-bukunya pun akan kami makan!!" serunya lantang. (buku-buku: bagian yang keras pada tubuh).
Demikanlah sejak itu persahabatan itu berubah menjadi permusuhan. Sejak saat itu pula, para nelayan di pantai bisa mendapatkan ikan tongkol di laut dengan mudah jika umpannya adalah bulu ayam jantan.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera
Selasa, 18 September 2007
Ikan Tongkol dan Bulu Ayam
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
9:58:00 AM
0
komentar
Minggu, 16 September 2007
Si Lancang
Kita mengenal ada peribahasa yang berbunyi lupa kacang akan kulitnya. Harta benda yang berlimpah kadang bisa membuat orang lupa akan asal-muasalnya. Tak mau mengakui kalau dirinya dulu juga miskin. Kadang juga tak mau kenal lagi dengan teman-teman atau saudara-saudaranya yang miskin. Kisah hidup si Lancang berkisar soal itu.
Si Lancang ini tinggal di daerah bernama Kampar. Di sana ia hidup hanya bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari Lancang dan Ibunya bekerja sebagai buruh tani. Lama kelamaan, Lancang berfikir tak bisa terus menerus mengandalkan hidupnya sebagai buruh. Ia ingin mengadu nasib di kota, kemudian ia pamit pada ibu dan gurunya mengaji. Mereka memberikan do'a restunya.
Ibunya berpesan, "Jika kau sukses di kota nanti, janganlah kau lupa pada ibumu ini. Jangan sampai kau menjadi anak durhaka."
Si Lancang berjanji akan menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibunya.
Lalu ia pergi setelah menyembah lutut ibunya.
Setelah sekian lama merantau di kota, agaknya nasib baik berpihak pada si Lancang. Ia menjadi kaya, juga dikabarkan istrinya berjumlah tujuh orang yang semuanya cantik-cantik, bahkan semua istrinya dari anak saudagar kaya. Harta si Lancang berlimpah, tapi ia tak pernah mengingat akan ibunya di kampung halaman. Ibunya tetap miskin dan hidup menderita.
Suatu hari, Lancang ingin berlayar sampai Andalas. Ia membawa serta ke tujuh istrinya itu. Perbekalan yang serba hebat diangkutnya pula ke dalam kapalnya yang besar dan mewah itu. Ada kain sutera yang indah-indah, emas, perak, semuanya digelar di kapal agar nampaklah ke semua orang akan kekayaannya yang berlimpah.
Pelayaran akhirnya melintasi Kampar, kampung halaman si Lancang. Disana, Lancang menghentikan kapalnya. Alat-alat musik dibunyikan, suaranya riuh rendah membuat seluruh penduduk Kampar ingin menyaksikan siapa yang datang. Mereka mengaggumi kemewahan kapal si Lancang.
Di antara penduduk yang datang, tampaklah ibu si Lancang. Ia terpana tak menyangka kapal mewah itu milik anaknya. Dengan mantap ia pun memasuki kapal itu. Ia sudah lama tak bertemu dan mendengar kabar anaknya itu.
Di atas geladak, ia dicegat para kelasi kapal, tak diijinkan masuk. Namun ibu itu mengatakan, Lancang adalah anaknya. Para kelasi terbahak-terbahak menertawakan ucapannya. Mereka tak ada yang percaya. Namun ibu si Lancang tetap bersikukuh ingin dipertemukan dengan si Lancang. Karena keributan ini, Lancang pun datang. Di belakangnya tampak ke tujuh istrinya mengiringi. Dilihatnya ada seorang perempuan tua yang tampak miskin dengan baju penuh tambalan, berdiri tegak di hadapan, hendak siap memeluknya.
"Lancang, Anakku!" pekiknya.
Si Lancang merasa sangat malu mendengar pekikan itu. Maka diusir ibunya itu.
"Aku tak punya ibu miskin seperti dia!" teriak si Lancang dengan congkak.
Hancurlah hati ibu si Lancang. Ia pun pulang dengan sedih dan merana. Air matanya terus bercucuran sepanjang jalan. Ia tak mampu menyembunyikan kesedihannya yang sangat mendalam.
Sesampainya di gubugnya yang sederhana, ia hanya mampu berdo'a memohon ampun akan tingkah durhaka anaknya pada Sang Kuasa. Setelah itu, ia mengeluarkan benda pusaka yang sudah lama disimpannya. Benda itu berupa lesung (penumbuk padi) dan nyiru (anyaman bambu untuk menampi beras). Lalu ia lanjutkan do'anya lagi. Kali ini sambil memutar-mutar lesung dan mengibaskan nyiru pusakanya itu. Dalam do'a nya ia berucap.
"Wahai Pencipta Alam Semesta, hukumlah anak durhaka yang ada di muka bumi ini. Hukumlah juga si Lancang Anak yang durhaka itu."
Sang Kuasa mendengarkan do'a ibu malang ini.
Tiba-tiba badai angin topan yang dahsyat datang. Kapal mewah itu dihempaskannya dalam sekejap. Segala isinya terlempar jauh tak karuan. Ada yang mesti utuh, ada yang sudah jadi berkeping-keping.
Kain sutranya melayang-layang kemudian jatuh disuatu tempat yang kini bernama Lipat Angin, yang terletak di daerah Kampar Kiri. Alat musik gongnya terlempar ke daerah Kampar Kanan yang kini kita kenal sebagai Sungai Oguong. Tembikarnya melayang ke suatu tempat yang kini dikenal dengan nama Pasubilah, Lalu tiang bendera kapal terlempar sangat jauh hingga ke danau. Danau itu dinamai Danau si Lancang.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
8:53:00 AM
0
komentar
Pak Lebai Malang
Ada orang yang bernasib malang namun kadang hal itu dikarenakan perbuatannya sendiri. Itulah kisah cerita ini.
Pak Lebai adalah seorang guru agama yang tinggal ditepian sebuah sungai didaerah Sumatra Barat. Suatu hari, ia mendapat undangan pesta dari dua orang yang sama-sama kaya. Pak Lebai bingung, yang mana yang hendak didatanginya karena pesta itu berlangsung di waktu yang sama, di tempat berjauhan.
Jika ia datang ke undangan yang pertama, yakni di hulu sungai, tuan rumah akan memberinya 2 ekor kepala kerbau. Namun, masakan di sanan konon tidak enak. Lagipula, ia tak terlalu kenal dengan tuan rumah tersebut. Jika ia datang ke undangan kedua, ia akan menerima satu saja kepala kerbau. Namun masakannya enak. Di sana ia juga akan mendapatkan tambahan kue-kue. Lagipula, ia kenal baik dengan tuan rumah tersebut.
Pak Lebai mulai mengayuh perahunya. Namun, ia masih belum juga bisa membuat keputusan, undangan mana yang dipilihnya. Dengan ragu ia mulai mengayuh perahunya menuju hulu sungai. Di tengah perjalanan, ia mengubah rencananya, lalu berbalik menuju hilir sungai. Ketika hilir sungai sudah makin dekat, beberapa tamu terlihat sedang mengayuh perahu menuju arah yang berlawanan. Mereka memberitahukan pada Pak Lebai.
"Kerbau yang disembelih di hilir sangat kurus, Pak Lebai!"
Pak Lebai kemudian berbalik lagi ke hulu, mengikuti orang-orang itu. Sesampai di hulu, ah.... pesta ternyata sudah usai. Para tamu sudah tak ada. Makanan sudah habis. Pak Lebai lalu segera mengayuh perahunya lagi menuju hilir. Di sana pun sama, pesta juga baru saja usai. Sudah sepi, tak ada satu pun undangan yang terlihat. Pak Lebai pun lemas, juga karena kelelahan mendayung ke hulu dan hilir. Ia mulai merasakan lapar, lalu memutuskan untuk melakukan dua hal, yakni memancing dan berburu.
Ia lalu kembali ke rumahnya sebab untuk berburu ia perlu mengajak anjingnya. Ia juga membawa bekal sebungkus nasi. Mulailah ia memancing. Setelah menunggu beberapa lama, ia merasakan kailnya dimakan ikan. Pak Lebai merasa lega. Namun ketika ditarik, pancing itu susah untuk diangkat ke atas. Pak Lebai berpikir, kail itu pasti tersangkut batu atau karang di dasar sungai.
Kemudian ia terjun ke sungai untuk mengambil ikan itu. Berhasil. Ia keluarkan pancing dan ikannya dari lekukan batu. Namun, ups! Begitu ia selesai melakukan hal itu, ikannya malah terlepas. Pak Lebai merasa kecewa sekali. Ia lalu naik ke atas sungai. Sesampainya di atas air Pak Lebai merasa lapar dan ingin memakan nasi bungkus yang dibawanya dari rumah.
Oh, ia juga mendapati nasinya sudah dimakan oleh anjignya! Benar-benar malang nasib Pak Lebai. Kemalangan demi kemalangan didapatinya.
Sejak saat itu, ia mendapat julukan dari orang-orang sekitarnya Pak Lebai Malang.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
8:49:00 AM
0
komentar
Sabtu, 15 September 2007
Legenda Danau Toba
Ini adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba. Orang tak akan menyangka, ada kisah sedih dibalik danau yang elok rupawan itu.
Tersebutlah seorang pemuda yatim piatu yang miskin. Ia tinggal seorang diri di bagian Utara Pulau Sumatra yang sangat kering. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.
Suatu hari, ia memancing dan mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Ia lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Tetapi saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik! Ternyata ia adalah ikan yang sedang dikutuk para dewa karena telah melanggar suatu larangan. Telah disuratkan, jika ia tersentuh tangan, ia akan berubah bentuk menjadi seperti makhluk apa yang menyentuhnya. Karena ia disentuh manusia, maka ia juga berubah menjadi manusia.
Pemuda itu lalu meminang putri ikan itu. Putri ikan itu menganggukan kepalanya tanda bersedia.
"Namun aku punya satu permintaan, kakanda." katanya.
"Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan."
"Baiklah, Adinda. Aku akan menjaga rahasia itu." kata pemuda itu.
Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu. Namun ketika beranjak besar, si Anak ini selalu merasa lapar. Walapun sudah banyak makan-makanan yang masuk kemulutnya, ia tak pernah merasa kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, keluarlah kata-katanya yang kasar.
"Dasar anak keturunan ikan!"
Ia tak menyadari, dengan ucapannya itu, berarti ia sudah membuka rahasia istrinya.
Seketika itu juga, istri dan anaknya hilang dengan gaib. Ia jadi sedih dan sangat menyesal atas perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak pernah bisa bertemu kembali dengan istri dan maupun anaknya yang disayanginya itu.
Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air menyembur. Airnya makin lama makin besar. Lama-lama menjadi danau. Danau inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang sebagai Danau Toba.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
11:01:00 AM
0
komentar
Rabu, 12 September 2007
Raja Burung Parkit
Hidup bergelimang harta benda dan makanan yang enak-enak, tak selalu menyenangkan. Demikianlah yang dialami Baginda Raja Burung Parkit.
Pada jaman dahulu kala, Raja Burung Parkit dan rakyatnya yang tinggal di hutan Aceh hidup dengan tenteram dan damai. Setiap hari mereka bisa hinggap berpindah dari reranting satu pohon ke pohon lainnya. Mereka juga bisa makan biji-bijian dan buah-buahan yang bermacam-macam di hutan.
Namun sayang, kedamaian dan ketentraman itu harus terganggu karena pada suatu hari ada pemburu masuk ke hutan itu. Dia menaruh sangkar besar dan sangkar itu diberi perekat, sehingga burung-burung yang sudah terperangkap di sana tak bisa terbang lagi. Hampir semua rakyat di kerajaan burung tertangkap. Mereka terjeblos masuk ke dalam perangkap itu. Mereka sedih dan panik. Namun, Baginda Raja Burung Parkit berusaha menenangkan rakyatnya.
"Tenanglah kalian semua. Sekarang kalian tak bisa bergerak karena ada perekat di tubuh kalian. Jangan takut, itu memang perekat yang dipasang pemburu."
Baginda selanjutnya memberitahu ke semua rakyat,
"Nanti sang pemburu akan melepas perekat ditubuh kita semua. Jika ia mendapati kita sudah mati, ia akan membuangnya. Karena itu, kalian semua wahai rakyatku, berpura-puralah mati!" seru Baginda.
"Tunggu sampai hitungan seratus, setelah itu kita semua akan terbang bersama-sama," lanjut sang Raja Burung.
Benarlah, tak lama kemudian sang Pemburu datang, lalu memeriksa sangkar. Satu-satu dibuangnya perekat di tubuh burung-burung itu. Ia kecewa benar karena hampir semua burung tangkapannya dalam keadaan mati. Malang, ketika hendak membersihkan burung terakhir, yakni Sang Raja Burung, ia jatuh terpeleset. Hal ini sangat mengagetkan burung-burung lain. Lalu, serempak mereka semua terbang tinggi. Mereka tak menyadari bahwa raja junjungannya masih tertinggal. Ia pun ditangkap oleh Sang Pemburu.
Sang Pemburu semula berniat ingin menyembelih burung itu, namung sang Raja Burung memohon belas kasihan sambil mengucapkan janji.
"Jika aku kau biarkan hidup, aku akan menghiburmu. Aku akan bernyanyi setiap hari," ucapnya.
Sang Pemburu rupanya tertarik akan tawaran burung itu. Maka ia mengurungkan niatnya. Seperti janjinya, tiap hari sang Raja bernyanyi. Suaranya indah sekali. Keindahan suara sang Raja Burung terdengar sampai ke istana. Maka, Raja Manusia memanggil si Pemburu.
"Kudengar engkau memiliki burung yang kicaunya indah sekali. Benarkah demikian?" tanya Raja.
"Benar, Tuanku."
Tak berapa lama, terdengarlah suara nyanyian sang Raja Burung. Semua yang hadir terpesona. Begitu pula sang Raja Manusia. Atas persetujuan pemiliknya, Raja Manusia kemudian menukar burung itu dengan emas berlian yang banyak jumlahnya.
Selanjutnya sang Raja Manusia meletakkan burung itu di sangkar emas yang sangat indah dan besar. Raja Parkit sangat disayang Raja Manusia. Ia diberi makanan yang enak-enak. Setiap hari sang Raja Burung tetap bernyanyi untuk sang Raja Manusia, namun hatinya pilu. Ia rindu pada hutannya yang lebat pohonnya. Ia juga ingin kembali berkumpul bersama rakyatnya.
Suatu hari ia menggunakan siasat lamanya, yakni pura-pura mati. Sang Raja Manusia sedih sekali ketika mendapati burung kesayangannya itu tiba-tiba mati. Lalu ia memerintahkan untuk menguburkan burung itu dengan upacara kebesaran.
Ketika sedang menyiapkan upacara itu, sang Burung Parkit diletakkan di luar kandang karena dikira memang sudah benar-benar mati. Tak menyia-nyiakan kesempatan, saat itu terbanglah sang Raja Burung setinggi-tingginya. Ia lalu menempuh perjalanan yang jauh untuk sampai ke hutan tempatnya tinggal. Sesampai disana, ia disambut rakyatnya dengan penuh suka cita. Mereka kini sudah berkumpul semua dan bisa kembali menikmati kedamaian bersama.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
11:09:00 AM
0
komentar