Bandar Kalapa tidak terpilih sebagai pusat pemerintahan oleh Tarumanagara maupun Padjajaran. Karena mandala Kalapa penuh hutan belantara, rawa-rawa, dan banyak binatang buasnya. Selain itu, kerajaan Hindu lebih suka memilih lokasi di pedalaman daripada di pesisir demi alasan security, menghindar dari serangan musuh.
Tatkala penguasa Sunda Padjajaran ingin meningkatkan hubungan perdagangan "internasional", barulah mereka membangun vassal di Kalapa, tetapi ibukota kerajaan tetap di Pakuan, Bogor.
Tatkala kompeni Belanda masuk Kalapa, ternyata bandar ini masih didominasi rimba raya. Bontius, seorang dokter VOC yang meninggal pada tahun 1631 dalam Historiae Naturalis & Medicae Indiae Orientalis menulis, Batavia penuh dengan pohon Indische Eik, jati Hindia. Pakar lain bernama Junghun kemudian mencatat, jenis jati lain yang tumbuh di Batavia adalah Rasamala. Tapi, penduduk tidak pernah menebang pohon ini karena dianggap keramat. Babakan (kulit kayu) Rasamala dapat dijadikan setanggi karena harum baunya. Itulah sebabnya tempat-tempat yang banyak ditumbuhi pohon Rasamala disebut Kampung Kramat.
Ada pula jenis pohon yang dinamakan Cassia Eistula Silvestris. Seorang pakar kehutanan bernama Ramphuis (1606-1702) dalam bukunya berjudul Herbarium Amboinense melaporkan bahwa Cassia tak banyak berguna untuk obat-obatan, kecuali buahnya. Buah Cassia berbentuk bulat panjang. Panjang buah dapat mencapai 35cm, sedangkan lingkar pinggang buah sekitar 5cm. Kedua ujung buah meruncing. Buah yang berwarna coklat muda itu menggelantung di tali ranting pohon. Orang Betawi menyebut pohon ini mengacu pada bentuk buahnya. Pohon ini disebut dengan istilah yang khas, yaitu (maaf) pu'un kontol-kontolan. Buahnya tak dapat dimakan, tetapi dapat dijadikan obat untuk menyembuhkan rematik.
Cara pakianya adalah, bagian tubuh yang encok itu dipukul-pukulkan dengan buah ini. Ramphuis mengatakan Cassia juga disebut Trengguli. Tetapi, ada istilah lain dalam bahasa Latin untuk Cassia, yaitu Solatium Senum, alias penghibur lelaki tua.
Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata
Selasa, 18 September 2007
Kampungmu, Kampungku (Rasamala)
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
11:06:00 AM
0
komentar
Kampungmu, Kampungku (Kali Besar)
Dari hulu sampai muara, nama sebuah kali tidak selalu sama. Misalnya kali Cihideung yang berhulu di pegunungan Bogor, sampai di Jakarta bernama kali Cideng (catatan: cara pengucapannya seperti bandeng, atau ledeng; dan bukan seperti mengucapkan dendeng, atau bedeng). Suku kata tengah "hi", pada Cihideung, menjadi aus. Begitu pula Ciliwung. Kali ini setibanya di Kota menjadi kali Besar.
Berkaitan dengan kata keterangan "besar", di Jakarta-Pusat ada tempat bernama Sawah Besar, bukan Sawah Gede. Seperti halnya Kali Besar, bukan Kali Gede. Lalu ada Cililitan Besar, di samping itu ada Cililitan Kecil. Tidak jauh dari Cililitan ada Pondok Gede, bukan Pondok Besar. Ke arah selatan menuju Bogor kita menjumpai kasawan berbahasa Betawi yang disebut Bojong Gede, bukan Bojong Besar.
Besar kemungkinan penggunaan kata besar populer di jalur lintas perniagaan, sementara kata gede yang menjadi predikat subjek sebuah nama tempat amat disukai penduduk pedalaman. Namun, di dalam percakapan sehari-hari orang Betawi yang bermukim di daerah perdagangan maupun pedalaman lebih suka menggunakan kata gede dari pada besar, bahkan dalam pengucapan bila ia ingin mengatakan sangat besar menjadi "gedi".
Kali Besar sudah bernama begini jauh sebelum kraton Jayakarta berdiri. Kraton Jayakarta berdiri di tepi barat Kali Besar. Batas selatannya adalah rawa-rawa yang disebut Roa Malaka, batas timurnya adalah kali itu sendiri, batas utaranya adalah Jl. Pakin sekarang, dan batas baratnya adalah Jl. Pejagalan. Pada tahun 1740 jalan Pejagalan menjadi amat terkenal karena tidak kurang dari 5000 orang Tionghoa dijagal Belanda dalam rangka penumpasan huru-hara Tionghoa, yang juga terkenal sebagai peristiwa Chinezenmoerd.
Tatkala Jan Pieterszon Coen tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta, maka mantan kompleks kraton, termasuk sebuah mesjid, dibakar. Lokasi eks kraton dijadikannya pusat perniagaan. Sedangkan pusat administrasi VOC didirikan di kawasan sebelah timur Kali Besar, yang terkenal sebagai Wijk Van Aria yaitu tempat tinggal elit Jayakarta, sampai dengan areal yang berbatas dengan Pasar Pisang. Ide Coen ini kemudian dilanjutkan penggantinya karena ia tewas pada tahun 1629.
Sebuah jembatan gantung, yang hingga kini masih ada, didirikan Belanda melintasi kali Besar. Di jembatan ini administratur VOC mengutip cukai. Sebuah pergudangan besar juga dibangun di dekat Pasar Ikan yang terkenal dengan nama Gedong Panjang. Pasar Pagi didirikan sebagai pusat perkulakan yang sudah ramai sejak pagi buta.
Jl. Asemka di Kota berasal dari istilah Belanda Asem Kade. Kade adalah tepian kali tempat berjalan kaki. Besar kemungkinan di kade itu tumbuh banyak pohon asem, sehingga bernama Asem Kade, entah bagaimana suku kata "de" hilang sehingga menjadi Asemka.
Sungguh ramai daerah Kota, yang berasal dari bahasa Sansekerta "kuta" (catatan: Pramudya Ananta Toer menebak Kota berasa dari terracotta), dengan situs purbakala. Beralasan sekali kalau daerah ini segera dipugar demi menunjang pariwisata, dan yang lebih penting adalah untuk memelihara jangkar sejarah agar kita tidak "kematian obor".
Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
10:55:00 AM
0
komentar
Minggu, 16 September 2007
Kampungmu, Kampungku (Kalapa)
Tahun 1527 diyakini sebagai tahun lahir kota Jakarta, karena pada tahun itu, atau tepatnya tanggal 22 Juni, seorang ulama asal Pasai diperintah Sunan Gunung Jati untuk merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari tangan Peringgi. Orang Melayu menyebut Portugis dengan Peringgi. Nama tempat di Jakarta Utara bernama Perigi bukan dari padanan kata sumur, melainkan dari Peringgi itu. Orang Peringgi, sesuai dengan perjanjian yang mereka buat dengan kekuasaan Sunda Pajajaran, memperoleh hak pengelolaan pelabuhan Sunda Kalapa.
Kalau kota Jakarta lahir pada tahun 1527, hal itu tidak berarti bahwa kota yang kini dihuni lebih dari 10 juta penduduk itu belum berdiri pada abad-abad sebelumnya. Paling tidak pada abad ke-12, tatkala kekuasaan Sunda mendirikan kantor administrasi pelabuhan, penduduk sudah ada dalam jumlah yang proporsional untuk ukuran waktu itu. Kalapa itu sendiri adalah nama bandar.
Bagi kerajaan Padjajaran yang berlokasi di pedalaman, tumbuh rimbunnya pohon kalapa di sepanjang pantai mulai dari Marunda sampai Teluk Naga merupakan panorama yang menarik. Besar kemungkinan bandar itu sudah bernama Kalapa yang pemberian namanya oleh migran Melayu Kalimantan Barat, penguasa Padjajaran di mempopulerkannya dengan menamakan pelabuhan yang dikuasainya sebagai PakuanSunda Kalapa.
Kalapa menjadi daerah takluk Padjajaran. Kerabat kraton dan berbahasa punggawa PadjajaranSunda, seperti halnya kemudian orang-orang kraton Jayakarta. Tetapi penduduk Kalapa sejak abad ke-10 berbahasa Melayu.
Seorang pakar bahasa, C.D. Grijns, mengungkap percakapan di pada abad ke-17 yang berupa pelabuhan Sunda KalapaMelayu campuran. Bila kita mundur jauh ke belakang lagi ke abad ke-5M, kiranya penduduk Tarumanagara, termasuk yang mukim di bandar kemudian bernama Kalapa, berbahasa Sansekerta. Melacak tahap penggunaan lingua franca di bandar Kalapa cukup relevan untuk memahami karakter kota ini yang sudah belasan abad menjadi bandar raya di mana arus informasi mendapatkan poros edarnya. Dan peran seperti ini akan masih diemban Jakarta menghadapi abad ke-21 mendatang.
Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
8:56:00 AM
0
komentar
Sabtu, 15 September 2007
Asal Usul Nama Kampung di Jakarta (Letnan Gambier)
Gambir bukan berasal dari ramuan pelengkap makan sirih. Lapangan Gambir, sekarang Monas, berasal dari nama seorang Letnan Zeni Belanda berdarah Perancis bernama Gambier.
Pada awal 1800-an Gambier ditugaskan Gubernur General Daendels untuk membuka belukar demi perluasan kota Batavia ke selatan. Maka sempatlah nama Letnan itu diabadikan sebagai nama lapangan yang berhasil digarapnya.
Namun pemerintah Kolonial kemudian meresmikan lapangan itu dengan nama Koningsplein. Nama ini digunakan sampai penjajahan Belanda berkakhir. Tapi di lidah orang Betawi lebih akrab lapangan ini dengan nama panggilan lapangan Gambir.
Bahkan Belanda akhirnya menamakan bazar tahunan di lapangan ini sebagai Pasar Gambir, meskipun mereka tetap tidak mengubah nama Koningsplein.
Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
10:57:00 AM
0
komentar
Rabu, 12 September 2007
Asal Usul Nama Kampung di Jakarta (Nabang - Bayur)
Kernet oplet tua yang beroperasi melintas Tanah Abang-Kebayoran Lama meneriaki "call sign": Nabang, Nabang, atau Bayur, Bayur, untuk mengimbau calon penumpang. Ucapan kernet itu sangat tepat bila ditilik dari sudut sejarah.
Sebuah lukisan Johannes Rach menggambarkan panorama Tanah Abang di masa itu. Tampaknya lukisan itu dibuat dari arah Jl. Abdul Muis. Tanah Abang berupa bukit yang ditumbuhi pohon-pohonan. Judul lukisan itu "Nabang". Sampai dengan akhir abad ke-19 tempat ini bernama Nabang, dan dalam penulisan formal diberi partikel "De" sehingga menjadi De Nabang.
Hingga sekarang orang Betawi menyebutnya Tenabang sebagai plesetan dari De Nabang, konsonan D berubah menjadi T. Nabang adalah nama jenis pepohonan yang tumbuh di atas bukit itu. Nabang, atau Tenabang, berubah menjadi Tanah Abang setelah pembangunan stasion KA tahun 1890. Perusahaan KA menganggap Tenabang itu berasal dari Tanah Abang. Lalu nama itu secara resmi digunakannya di stasion KA. Besar kemungkinan pengelola stasion itu berasal dari Jawa, ia mengira penyebutan Tenabang itu salah, lalu ia mencoba untuk "meluruskan".
Kemudian hari muncul para "ahli tafsir" yang mengatakan Tanah Abang itu tanah berwarna merah. "Ahli tafsir" ini mungkin hendak menyeragamkan toponim Tenabang dengan Pal Merah, kawasan yang ada di dekatnya. Pal Merah jelas berasal dari batas jalan (pal) yang berwarna merah.
Seperti halnya Pal Batu, batu yang dijadikan pal. Pal Putih, pal yang berwarna putih. Adapun Pal Meriam punya kaitan dengan perang Inggris-Perancis di Meester Cornelis tahun 1813. Inggris membangun arsenal (batterij) meriam di daerah yang sekarang disebut Pal Meriam itu.
Kebayoran berasal dari Bayur, nama jenis jati yang dalam bahasa latin disebut pterospermum Javanicum. Jenis jati ini banyak tumbuh di selatan kota dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya ganjur, lantas ada Ciganjur. Ada yang menyebutnya wadang, atau padang, lantas ada Jati Padang.
Nama-nama tempat di Asia, bukan cuma di Jakarta, memang banyak yang mengacu pada alam flora. Tumbuhan rumput liar, disebut krokot. Nama ini berasal dari khazanah Islam. Dalam sebuah hadits Rasul dikatakan bahwa di saat menjelang hari kiamat orang-orang Yahudi itu akan diharu biru, tak ada orang atau benda yang bersedia melindungi dan menyembunyikan mereka, kecuali pohon gurkut.
Maka pohon, atau tumbuhan liar itu dinamakan krokot. Dan ada tempat bernama Krekot. Adapun Krukut itu berasal dari transliterasi Arab untuk kata "krokot" yang ditulis menjadi krukut, kaf-ra-wau-kaf-wau-ta. Seperti diketahui di kawasan ini banyak sekali orang Arab yang bertempat tinggal.
Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata
Diposting oleh
IndraSufian
pada pukul
11:07:00 AM
0
komentar