Minggu, 16 September 2007

Kampungmu, Kampungku (Kalapa)


Tahun 1527 diyakini sebagai tahun lahir kota Jakarta, karena pada tahun itu, atau tepatnya tanggal 22 Juni, seorang ulama asal Pasai diperintah Sunan Gunung Jati untuk merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari tangan Peringgi. Orang Melayu menyebut Portugis dengan Peringgi. Nama tempat di Jakarta Utara bernama Perigi bukan dari padanan kata sumur, melainkan dari Peringgi itu. Orang Peringgi, sesuai dengan perjanjian yang mereka buat dengan kekuasaan Sunda Pajajaran, memperoleh hak pengelolaan pelabuhan Sunda Kalapa.

Kalau kota Jakarta lahir pada tahun 1527, hal itu tidak berarti bahwa kota yang kini dihuni lebih dari 10 juta penduduk itu belum berdiri pada abad-abad sebelumnya. Paling tidak pada abad ke-12, tatkala kekuasaan Sunda mendirikan kantor administrasi pelabuhan, penduduk sudah ada dalam jumlah yang proporsional untuk ukuran waktu itu. Kalapa itu sendiri adalah nama bandar.

Bagi kerajaan Padjajaran yang berlokasi di pedalaman, tumbuh rimbunnya pohon kalapa di sepanjang pantai mulai dari Marunda sampai Teluk Naga merupakan panorama yang menarik. Besar kemungkinan bandar itu sudah bernama Kalapa yang pemberian namanya oleh migran Melayu Kalimantan Barat, penguasa Padjajaran di mempopulerkannya dengan menamakan pelabuhan yang dikuasainya sebagai PakuanSunda Kalapa.

Kalapa menjadi daerah takluk Padjajaran. Kerabat kraton dan berbahasa punggawa PadjajaranSunda, seperti halnya kemudian orang-orang kraton Jayakarta. Tetapi penduduk Kalapa sejak abad ke-10 berbahasa Melayu.

Seorang pakar bahasa, C.D. Grijns, mengungkap percakapan di pada abad ke-17 yang berupa pelabuhan Sunda KalapaMelayu campuran. Bila kita mundur jauh ke belakang lagi ke abad ke-5M, kiranya penduduk Tarumanagara, termasuk yang mukim di bandar kemudian bernama Kalapa, berbahasa Sansekerta. Melacak tahap penggunaan lingua franca di bandar Kalapa cukup relevan untuk memahami karakter kota ini yang sudah belasan abad menjadi bandar raya di mana arus informasi mendapatkan poros edarnya. Dan peran seperti ini akan masih diemban Jakarta menghadapi abad ke-21 mendatang.

Sumber Referensi :
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata

Tidak ada komentar: