Minggu, 16 September 2007

Si Lancang


Kita mengenal ada peribahasa yang berbunyi lupa kacang akan kulitnya. Harta benda yang berlimpah kadang bisa membuat orang lupa akan asal-muasalnya. Tak mau mengakui kalau dirinya dulu juga miskin. Kadang juga tak mau kenal lagi dengan teman-teman atau saudara-saudaranya yang miskin. Kisah hidup si Lancang berkisar soal itu.

Si Lancang ini tinggal di daerah bernama Kampar. Di sana ia hidup hanya bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari Lancang dan Ibunya bekerja sebagai buruh tani. Lama kelamaan, Lancang berfikir tak bisa terus menerus mengandalkan hidupnya sebagai buruh. Ia ingin mengadu nasib di kota, kemudian ia pamit pada ibu dan gurunya mengaji. Mereka memberikan do'a restunya.

Ibunya berpesan, "Jika kau sukses di kota nanti, janganlah kau lupa pada ibumu ini. Jangan sampai kau menjadi anak durhaka."

Si Lancang berjanji akan menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibunya.

Lalu ia pergi setelah menyembah lutut ibunya.

Setelah sekian lama merantau di kota, agaknya nasib baik berpihak pada si Lancang. Ia menjadi kaya, juga dikabarkan istrinya berjumlah tujuh orang yang semuanya cantik-cantik, bahkan semua istrinya dari anak saudagar kaya. Harta si Lancang berlimpah, tapi ia tak pernah mengingat akan ibunya di kampung halaman. Ibunya tetap miskin dan hidup menderita.

Suatu hari, Lancang ingin berlayar sampai Andalas. Ia membawa serta ke tujuh istrinya itu. Perbekalan yang serba hebat diangkutnya pula ke dalam kapalnya yang besar dan mewah itu. Ada kain sutera yang indah-indah, emas, perak, semuanya digelar di kapal agar nampaklah ke semua orang akan kekayaannya yang berlimpah.

Pelayaran akhirnya melintasi Kampar, kampung halaman si Lancang. Disana, Lancang menghentikan kapalnya. Alat-alat musik dibunyikan, suaranya riuh rendah membuat seluruh penduduk Kampar ingin menyaksikan siapa yang datang. Mereka mengaggumi kemewahan kapal si Lancang.

Di antara penduduk yang datang, tampaklah ibu si Lancang. Ia terpana tak menyangka kapal mewah itu milik anaknya. Dengan mantap ia pun memasuki kapal itu. Ia sudah lama tak bertemu dan mendengar kabar anaknya itu.

Di atas geladak, ia dicegat para kelasi kapal, tak diijinkan masuk. Namun ibu itu mengatakan, Lancang adalah anaknya. Para kelasi terbahak-terbahak menertawakan ucapannya. Mereka tak ada yang percaya. Namun ibu si Lancang tetap bersikukuh ingin dipertemukan dengan si Lancang. Karena keributan ini, Lancang pun datang. Di belakangnya tampak ke tujuh istrinya mengiringi. Dilihatnya ada seorang perempuan tua yang tampak miskin dengan baju penuh tambalan, berdiri tegak di hadapan, hendak siap memeluknya.

"Lancang, Anakku!" pekiknya.

Si Lancang merasa sangat malu mendengar pekikan itu. Maka diusir ibunya itu.

"Aku tak punya ibu miskin seperti dia!" teriak si Lancang dengan congkak.

Hancurlah hati ibu si Lancang. Ia pun pulang dengan sedih dan merana. Air matanya terus bercucuran sepanjang jalan. Ia tak mampu menyembunyikan kesedihannya yang sangat mendalam.

Sesampainya di gubugnya yang sederhana, ia hanya mampu berdo'a memohon ampun akan tingkah durhaka anaknya pada Sang Kuasa. Setelah itu, ia mengeluarkan benda pusaka yang sudah lama disimpannya. Benda itu berupa lesung (penumbuk padi) dan nyiru (anyaman bambu untuk menampi beras). Lalu ia lanjutkan do'anya lagi. Kali ini sambil memutar-mutar lesung dan mengibaskan nyiru pusakanya itu. Dalam do'a nya ia berucap.

"Wahai Pencipta Alam Semesta, hukumlah anak durhaka yang ada di muka bumi ini. Hukumlah juga si Lancang Anak yang durhaka itu."

Sang Kuasa mendengarkan do'a ibu malang ini.

Tiba-tiba badai angin topan yang dahsyat datang. Kapal mewah itu dihempaskannya dalam sekejap. Segala isinya terlempar jauh tak karuan. Ada yang mesti utuh, ada yang sudah jadi berkeping-keping.

Kain sutranya melayang-layang kemudian jatuh disuatu tempat yang kini bernama Lipat Angin, yang terletak di daerah Kampar Kiri. Alat musik gongnya terlempar ke daerah Kampar Kanan yang kini kita kenal sebagai Sungai Oguong. Tembikarnya melayang ke suatu tempat yang kini dikenal dengan nama Pasubilah, Lalu tiang bendera kapal terlempar sangat jauh hingga ke danau. Danau itu dinamai Danau si Lancang.


Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia - Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera

Tidak ada komentar: